Beberapa tahun terakhir ini, lanskap industri parfum di Indonesia telah menggeliat secara signifikan. Dahulu, untuk menemukan wewangian favorit, kita harus pergi ke toko atau membeli langsung dari online shop. Namu kini setiap dua bulan sekali ada saja perhelatan akbar yang didedikasikan untuk parfum lokal. Fenomena ini memunculkan satu pertanyaan penting: apakah ledakan ini murni perayaan eksistensi kreatif, atau hanya arena baru untuk mengejar cuan?
Dalam kurun waktu yang singkat 2019-2025, jumlah parfum lokal di Indonesia mengalami exponsial peningkatan. Produsen lokal seperti berlomba-lomba merilis produk baru dengan kecepatan dan jumlah yang lebih banyak. Siklus ini dipercepat oleh promosi gencar dari para influencer, mengubah parfum yang tersier menjadi the new fast fashion di Indonesia. Setiap pameran menjadi panggung untuk meluncurkan aroma "terbaru", menciptakan sensasi kebutuhan yang terus-menerus di kalangan konsumen. Ditambah activation yang mau tidak mau membentuk market: "cek haul aku dari pameran parfum".
Namun, di balik gemerlap pertumbuhan ini, ada sebuah hal yang menggelitik. Industri parfum Indonesia yang sedang naik daun ini tampaknya belum dibarengi dengan keberanian untuk menunjukkan karya secara orisinal. Mayoritas parfum yang dirilis di pameran-pameran ini masih mengedepankan aroma yang terinspirasi dari jenama internasional yang sudah terkenal dan menciptakan gema di pasar yang terus mengulang: "baunya mirip parfum A."
Fenomena didorong obsesi pasar terhadap parfum tahan lama dengan harga murah. Bagi sebagian besar penggemar parfum, SPL (Sillage, Projection, Longevity) sering kali menjadi tolok ukur utama kualitas, bahkan orisinalitas aroma tidak jadi persoalan. Terutama untuk aroma yang mirip dengan parfum designer/niche yang terkenal. Tak pelak, produsen pun merespons dengan menciptakan duplikat yang murah, tetapi juga menjanjikan performa yang lebih tahan lama. Akibatnya, diskusi tentang parfum lebih sering berkisar pada "berapa jam tahannya?" ketimbang "seunik apa aromanya?".
Sikap permisif pasar, didukung oleh sebagian masyarakat yang menganggap "gak papa bikin dupe dulu" menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka jalan bagi pemain baru untuk masuk ke industri dengan risiko minimal. Di sisi lain, hal begini akan menghambat inovasi dan membentuk ekosistem yang kurang menghargai orisinalitas. There's nothing new in the sun? Kami setuju. Tapi blantanly copying akan membuat industri ini jalan di tempat.
Untungnya di tengah gempuran aroma generik, beberapa jenama lokal mulai berani mengambil jalur berbeda. Mereka menciptakan ide aroma baru yang menantang pasar, seperti yang dilakukan Scent of Pluto, Etre, Normal Estate, HoM Haute dan beberapa brand lain. Kemunculan brand ini, membuktikan bahwa ada potensi untuk menciptakan pasar yang lebih variatif.
Pada akhirnya, maraknya pameran parfum adalah cerminan dari persimpangan jalan industri ini. Apakah ia akan terus menjadi mesin komersial yang mengandalkan formula aman, banting harga atau berevolusi menjadi panggung brand untuk mendefinisikan apa itu wangi khas Indonesia? Jawabannya ada di tangan para produsen, dan tentu saja, pada pilihan kita sebagai konsumen.
.avif&w=3840&q=75)